Tiba di Savannakhet, kami menuju rumah pak Pong, Pak Pong ini adalah orang Laos yang sudah memeluk Islam hampir limabelas tahun silam, sebagai seorang polisi yang masih aktif dia tak mau identitas ke-Islamannya diketahui halayak ramai. Hanya Dia seorang saja yang Islam di keluarga nya, bahkan isteri dan anak-anaknya masih menganut Budha. Banyak kisah menarik yang diceritakan oleh Imam Vina kepada kami tentang pak Pong ini, namun sayang karena sedang bertugas keluar kota kami tak berjumpa dengan pak Pong. Kami diterima oleh adiknya yang bernama Pok.
Tak tahu apa sebab kota ini dinamakan Savannakhet. Dialek tempatan menyebutnya Sabana Kit. Dan memang hutan perdu di sana terlihat seperti padang Sabana.
Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari pak Pok adik pak Pong ini, ada satu lagi keluarga muslim asal Kamboja yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman mereka. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya untuk bersilaturrahim.
Setiba di sebuah rumah toko (ruko) persis bersebalahan sebuah hotel yang cukup besar di Savannakhet, seorang perempuan muda sekitar 30an menerima kami, di depan rumah yang juga berfungsi sebagai tempat berniaga ini di kanan kirinya terdapat altar sembahyang bagi orang Budha lengkap dengan sesajian dan dupa yang masih menyala. Dengan senyum ramah kami dipersilahkannya masuk ke dalam rumahnya, tak lama setelah itu seorang perempuan tua sekitar 60an tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor dan masuk menghampiri kami.
Senyumnya mengembang namun air matanya terlihat berlinang, rupanya dia sangat terharu sekali atas kedatangan kami menjambangi rumahnya. Belasan tahun setelah suaminya meninggal dunia nyaris tak seorang pun orang Islam yang datang ke rumahnya.
Chek Lie namanya. Begitu dia dipanggil perempuan tua yang tetap mengaku Islam ini adalah berasal dari Saigon Vietnam, menikah dengan pemuda asal Kamboja bernama Ali, sejak menikah 40 tahunan yang lalu mereka tinggal di Savannakhet, dikarunia dua orang anak. Seorang lelaki, dan menikah dengan wanita setempat (orang Laos) punya anak enam orang. Seorang lagi anak Chek Lie yang perempuan yang menyambut kami tadi menikah dengan lelaki setempat, tetapi beragama Budha, putri Chek Lie ini pun punya dua orang anak.
Sayangnya anak lelaki Chek Lie agak kurang ingatan akibat kecelakaan di jalan raya setelah suaminya meninggal. Sementara anak perempuannya pula telah bercerai dengan suaminya. Mungkin akibat penderitan yang terus menderanya itu, selama bertemu dengan kami tak henti henti air matanya terus mengalir.
Di rumah Chek Lie itu kami shalat magrib, di dalam rumah yang cukup besar itu pun terdapat altar tempat sembahyang yang jauh lebih besar dari altar yang di luar. Melihat kami akan shalat, cepat–cepat Chek Lie menutupi altar itu dengan kain. Yang sangat terharu sekali adalah saat azan berkumandang di rumah itu, Chek Lie dengan menyusun sepuluh jarinya seraya berdoa dan tubuhnya mengelongsor ke lantai sembari menangis.
Kami yang hadir di sana hampir semua menitikkan air mata. Bahkan Ustazd Yusuf asal Pattani yang menjadi juru bicara dan imam shalat kami menangis sesunggukan. Memohon ampun kepada Allah SWT membiarkan saudara muslim belasan tahun tanpa bimbingan apapun.